A. ILMU PENGETAHUAN
Ilmu
Pengetahuan berasal dari dua kata, yaitu “ilmu” dan “pengetahuan” yang memiliki
arti tersendiri. Keseluruhannya telah lama dipersoalkan oleh ahli filsafat
seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles dimana teori ilmu pengetahuan
merupakan cabang atau sistem filsafat. Oleh J.P Farrier dalam institutes of
metaphiscs (1854), pemikiran tentang teori pengetahuan itu disebut
”epistemologi” (epistem=pengetahuan, logos=pembicaraan/ilmu).
Menurut
Immanuel Kant pengetahuan merupakan persatuan budi dan pengalaman. Dari
berbagai macam pandangan tentang pengetahuan di peroleh sumbe-sumber
pengetahuan berupa ide, kenyatan, kegiatan akal-budi, pengalaman, sentesis budi
atau meragukan karena tak adanya sarana untuk mencapai pengetahuan yang pasti.
Untuk
membuktikan apakah isi pengetahuan itu benar, perlu berpangkal pada teori-teori
kebenaran pengetahuan. Teori pertama bertitik tolak adanya hubungan dalil,
dimana pengetahuan dianggap benar apabila dalil (proposisi) itu mempunyai
hubungan dengan dalil (proposisi) yang terdahulu.kedua, pengetahuan itu benar
apabila ada kesesuaian dengan kenyataan, bahwa pengetahuan itu benar apabila
mempunyai konsekuensi praktis dalam diri yang mempunyai pengetahuan itu.
Banyaknya
teori dan pendapat tentang pengetahuan dan kebenaran mengakibatkan suatu
definisi ilmu pengetahuan akan mengalami kesulitan sebab, membuat suatu
definisi dari definisi ilmu pengetahuan yang dikalangan ilmuan sendiri sudah
ada keseragaman pendapat. Hanya akan merangkap dalam tautologies (pengulangan
tanpa membuat kejelasan) dan pleonasme atau mubazir
saja.
Dalam
penerapan sebuah ilmu pengetahuan akan memunculkan sebuah hambatan sosial. Hal
ini disebabkan, pola pikir ilmiah tidak mempertimbangkan nilai moral dan dampak
terhadap sosial ekonomi. Sebab manusia tidak selalu sadar dengan hal ini,dan
manusia yang paling sederhanapun hanya sedikit peduli terhadap sosial ekonomi.
Contoh
sederhana tapi mendalam terjadi pada masyarakat mistis. Dalam
masyarakat tersebut ada kesatuan dari pengetahuan (mitis) dan perbuatan
(sosial), demikian pula hubungan sosial di dalam suku dan kewajiban
individu sudah terang, argumen ontologis, kalau meminjam teori plato berteori
tentang wujud dan hakikat yang ada. Keadaan sekarang sudah berkambang sehingga
manusia sudah mampu membedakan antara ilmu pengetahuan (kebenaran)
dan ilmu etika (kebaikan). Maka yang pertama dipentingkan bukan
“apa” melainkan “bagaimana” dapat menghubungkan ilmu pengetahuan dengan
etika dalam suatu sikap yang dapat dipertanggung jawabkan.
Alasan
lain untuk mengintegrasikan kedua bidang tersebut ialah karena dalam
perkembangan-perkembangan ilmu modern, pengetahuan manusia telah mencapai
lingkupnya yang paling luas, dimulai dengan pikiran antologis, kemudian gauli,
rahasia-rahasianya dimanfaatkan bagi manusia. Timbul kesan seolah- olah
pengetahuan ilmiah merupakan suatu tujuan tersendiri (ilmu demi ilmu). Bahkan
ada ilmu pengetahuan murni, jadi lepas dari apa yang ada di luar
ruang lingkup ilmu, lepas dari masyarakat dan hidup sehari-hari. Di sini
manusia berhadapn dengan pertanyaan –pertanyaan mengenali kebaikan
dan kejahatan, kesadaran politik, nilai-nilai religius, dan sebagainya. Oleh pandangan
ini kaidah etis etis beserta lain-lainnya di cap sebagai sosial akstra ilmiah
(diluar dibidang ilmu).
Sekarang
tidak dapat netral dan bersikap netral lagi terhadap ilmu penyelidikan ilmiah.
Karena manusia hidup dalam suatu dunia, hasil ilmu pengetahuan dapat membawa
pada malapetaka yang belum pernah kita bayangkan sehingga perlu etika ilmu
pengetahuan sebagai satu-satunya jalan keluar. Lebih lanjut diakui oleh
filsafat modern, bahwa manusia dalam pekerjaan ilmiahnya tidak hanya
bekerja dengan akal budinya, melainkan dengan seluruh eksitensinya, dengan
seluruh keadaannya, dengan hatinya, dengan panca inderanya sehingga
manusia, dalam mengambil keputusannya, membuat pilihannya terlebih dahulu,
mendapapat pertimbangannya terlebih dahulu, mendapat pertimbangan dengan
pengajaran agama, dan nialai-nilai atau norma kesusilaan. Konteks ilmu dengan
ajaran agama dalam rangka meeningkatkan ilmuan itu sendiri sejajar dengan
orang-orang yang beriman pada derajat yang tinggi, sebagai pemegang
alamat dan akan tetap memperoleh pahala.
B. TEKNOLOGI
Istilah
teknologi berasal dari kata techne dan logia. Kata yunani kuno techne berarti
seni kerajinan. Dari techne kemudian lahirlah perkataan technikos yang berarti
seseorang yang memiliki keterampilan tertentu. Dengan berkembangnya
keterampilan seseorang yang menjadi semakin tetap karena menunjukkan suatu
pola, langkah, dan metode yang pasti, keterampilan itu lalu menjadi teknik.
Sampai
pada permulaan abad XX ini, istilah teknologi telah dipakai secara umum dan
merangkum suatu rangkaian sarana, proses, dan ide disamping alat-alat dan
mesin-mesin. Perluasan arti itu berjalan terus sampai
pertengahan abad ini muncul perumusan teknologi sebagai sarana atau aktifitas
yang dengannya manusia berusaha mengubah dan menangani lingkungan. Ini
merupakan suatu pengertian yang sangat luas karena setiap sarana perlengkapan
maupun kultural tergolong suatu teknologi.
Teknologi
dianggap sebagai penerapan ilmu pengetahuan, dalam pengertian bahwa penerapan
itu menuju pada perbuatan atau perwujudan sesuatu. Kecenderungan ini pun
mempunyai suatu akibat dimana kalau teknologi dianggap sebagai penerapan ilmu
pengetahuan, dalam perwujudan tersebut maka dengan sendirinya setiap jenis
teknologi/sebagian ilmu pengetahuan dapat ada tanpa berpasangan dengan ilmu
pengetahuan dan pengetahuan tentang teknologi perlu disertai oleh pengetahuan
akan ilmu pengetahuan yang menjadi pasangannya.
Demikianlah
teknologi adalah segenap keterampilan manusia menggunakan sumber-sumber daya
alam untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan. Secara
lebih umum dapatlah bahwa teknologi merupakan suatu sistem penggunaan berbagai
sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan praktis yang ditentukan.
C. KEMISKINAN
Menurut
Petirin A. Sorokin, bahwa stratifikasi soisal (social stratification) adalah
perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas – kelas secara bertingkat
(secara hierarakis). Perwujudannya adalah adanya kela-kelas tinggi dan kelas
yang lebih rendah. Selanjutnya Sorokin menjelaskan bahwa dasar dan inti
lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah karena tidak ada keseimbangan dalam
pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, kewajiban-kewajiban dan tanggung
jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat.
Lapisan-lapisan ini dalam masyarakat itu ada sejak manusia mengenal kehidupan
bersama dalam masyarakat. Mula-mula lapisan-lapisan didasarkan pada pembedaan
jenis kelamin, perbedaan antara pemimpin dan yg dipimpin, pembagian kerja dan
sebagainya. Semakin kompleks dan majunya pengetahuan dan teknologi dalam
masyarakat, maka system lapisan-lapisan dalam masyarkat akan semakin kompleks
pula.
Kemiskinan
menurut Kantor Menteri Negara Kependudukan/ BKKBN adalah suatu
keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf
kehidupan yang dimiliki dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun
fisiknya untuk memenuhi kebutuhannya.
Kemiskinan
memang merupakan sebuah dampak negatif dari sebuah perkembangan IPTEK yang
semakin pesat tanpa di iringi dengan ekonomi yang mumpuni, sehingga menimbulkan
kaum miskin yang tertinggal akan IPTEK. Hal ini bisa terlihat dengan
penggantian tenaga manusia menjadi tenaga robotic pada perusahaan sebagai
dampak dari perkembangan IPTEK, tanpa di iringi dengan pemikiran terhadap kaum
buruh yang miskin. Hal ini tentu saja membuat mereka menjadi kalah atau
tersingkir akibat dari kemajuan IPTEK.
sumber : http://immanuelangga.blogspot.com/2016/01/makalah-ilmu-pengetahuan-teknologi-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar